Proses Pemasangan Instalasi Bom Benang Makassar 2013 (laporan pandangan mata)

24 Agustus 2013 kami tiba sekitar pukul 10.30 di taman Segitiga dengan mobil bak sewaan yang mengangkut bahan-bahan untuk bom benang. Saat tiba kami langsung disambut oleh seorang pria tak bersahabat yang sedang memakai sepatu boots karet. Ia melemparkan banyak pertanyaan dengan wajah tidak bersahabat. Saya tak langsung menjawab pertanyaannya. Saya tanya dulu ia siapa. Orang itu mengaku sebagai penjaga taman. Dia menanyakan barang-barang kami akan dipajang dimana, atas ijin siapa, dan siapa yang akan bertanggung jawab. Saya langsung menyebut satu nama “Jordan”. Ia langsung teriak memanggil Jordan dengan menggunakan bahasa Makassar. Kupikir ini seperti gertakan.

Jordan muncul dengan wajah bersahabat. Si penjaga taman menjauh dan mengurusi sabut kelapa dan tempurung kelapa yang agak hangus dan bertebaran di atas paving di taman. Barack mendekati dan mengajak ngobrol mencoba mencaritahu maksud si penjaga taman yang mengatakan akan menelpon kepala dinas pertamanan atas ijin kami. Barak menyuruh penjaga taman menelpon kepala dinas pertamanan atas kehadiran kami.

bom benang taman macan
Weda, Wincut, Ugha dan Echie sedang menjahit bingkai Rajutan untuk disambungkan ke instalasi (foto:Fitriani A. Dalay)
relawan dan perajut sedang mengklasifikasikan rajutan berdasar motif (foto: Fitriani A. Dalay)

Saya lalu meninggalkan mereka berbincang-bincang setelah mencoba mengajak berbasa basi. Ternyata menurut Barak si penjaga taman mau minta uang kebersihan. Bahasanya seperti “mengerti mamiki uang kebersihannya anak-anak.” Barak menjawab “tidak ada uang”. Barak berlalu dan bergabung dengan Cora (Muhammad Cora, seorang arsitek lingkungan yang membantu mendesain instalasi BOMBEMA 2013) yang sedang melakukan scanning pada taman untuk desain instalasi. Kami berkumpul bertiga sedikit membicarakan desainnya lalu berpencar mulai mengatur barang dan bahan yang telah kami bawa dan persiapkan jauh hari dari Kampung Buku.

Sebelum kami tiba di Taman Segitiga Echie telah duluan sampai bersama suaminya menunggu kedatangan kami di taman padahal rumah mereka di daerah Daya lebih jauh dari kami. Mereka menyambut dengan semangat.

 
pukul 12 malam, Anbar dan Barack masih serius mengerjakan spanduk BOMBEMA 2013 (foto: Fitriani A. Dalay)
 
pemasangan instalasi untuk banner BOMBEMA 2013. Echie dan suaminya serta Barak ketua panitia mengerjakan spanduk acara menggunakan tali kur dan kawat (foto: Fitriani A. Dalay)

Spanduk dari bahan kawat yang dililit dengan tali kur lanjut dikerjakan oleh echie dan suaminya atas arahan Barak yang telah memulainya sejak kemarin jam 2 siang. Satu per satu teman-teman perajut, dokumentator, dan relawan membantu pemasangan instalasi berdatangan. Karya mulai diklasifikasi berdasarkan jenis motif dan warna oleh pengarah artistic untuk dijahittangan oleh para relawan menggunakan tasi. Satu bingkai rajutan dijahitkan ke bingkai yang lain mengikuti klasifikasi. Desain instalasi sementara dibangun.

Sekira jam duaan instalasi selesai dipasang dan rajutan yang telah dibingkai dengan kawat dijahit dipasang oleh relawan yang bertugas memasang rajutan keinstalasi yang menggantung diantara pepohonana. Ada yang berbentuk zig zag ada yang bergelombang dan bertingkat-tingkat. Kendaraan mulai melambat disekitar taman Segitiga. Arus lalu lintas mulai menumpuk dari arah pompa bensin melewati sisi kanan taman. Kendaraan melambat karena mata pengendara tertuju pada warna-warni rajutan yang menggelantung diantara pepohonan.

Orang-orang yang biasanya menggunakan taman segitiga sebagai sarana penyeberangan jalan melambat saat menyeberang dan melihat dengan seksama apa yang tengah kami kerjakan sambil mata mereka tertuju ke rajutan dengan warna-warna terang. Anak-anak pengemis mampir sejenak melihat pajangan kami. Anggota KPJ sedang ngobrol sambil mata mereka tertuju pada rajutan yang kami pasang seolah tengah mengobrolkan motif dan desain sedang mereka perhatikan. Anak-anak kecil seperti Kirana dan Bobel membuat instalasi rajutan yang digantung menggunakan bambu menjadi seolah ayunan. Mereka duduk diatas bambu dan mencoba mengayun agar lebih mirip seperti ayunan. Mereka kerap datang memegang-megang rajutan mengikuti warna kesukaan mereka. Banyak teman-teman mulai berfoto di depan maupun belakang instalasi.

 
berfoto di depan instalasi Bom Benang 2013 (foto: Fitriani A. Dalay)

Hari beranjak sore mengurangi ketegasan cahaya matahari. Satu-satu bayangan rajutan mulai membayang di tanah mengikuti pola rajutan yang bertekstur dan berlubang-lubang menandakan waktu yang sangat tepat untuk berfoto. Sayang sekali banyak orang lewat yang singgah masih malu-malu masuk melihat instalasi yang terpasang. Ini mungkin peringatan bahwa memamerkan karya dengan cara yang sangat sederhana menurut kami  masih dapat membuat segan atau malu-malu untuk masuk melihat meski tempatnya merupakan ruang publik. Saya membayangkan bagaimana malangnya nasib karya-karya yang disimpan dalam ruangan tertutup dan hanya sekali-sekali dibuka jika ada acara dan pemiliknya mengundang kita masuk.

Mungkin karya-karya tersebut hanya mengenal diri mereka sendiri dan kabar-kabar angin mengenai keberadaan mereka. Karya yang tertutup tentu tidak akan kotor dan mungkin lebih terawat tapi tidak akan banyak orang yang akan menikmatinya seolah ia memutuskan untuk hidup menyendiri. Karya yang berada di tempat terbuka tentu akan dinikmati atau dicerca oleh khalayak dan dapat di dengar dan diberitahukan langsung kepada si pembuatnya karena tidak adanya batasan yang dibuat saat empunya memutuskan untuk menyimpannya di ruang publik.

Malam menjelang kami bergegas pulang menyiapkan energi untuk esok hari menyambut dan menyapa orang-orang lewat yang melirik karya kami yang tengah bergelantungan berpanas-panas diantara pepohonan di taman segitiga.

Diposkan 24th October 2013 oleh The Ribbing Studio : http://fadalays.blogspot.co.id/2013/10/proses-pesangan-instalasi-bom-benang.html

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *